Oleh: Sigid Harimurti – Peneliti Bandung Geopolitics Studies
Revitalisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah suatu “conditio sine qua non”, suatu hal yang sudah sangat mendesak, di tengah dinamika & problematika global saat ini. PBB layaknya “gergasi” masa silam yang semakin loyo dan susah melangkah maju akibat beban yang terus bertambah banyak dan berat akibat saling-silang masalah yang semakin kompleks dalam interaksi masyarakat dunia.
PBB kini adalah laksana “Sang Kumbakarna” dalam mitos Ramayana. Raksasa bertubuh sangat besar yang bijaksana serta penganjur perdamaian. Tapi saking besar dan berat tubuhnya, hingga ia kepayahan sendiri untuk bergerak dan kemudian hari-harinya dihabiskan dengan tidur. Ia hanya bangun dan punya makna kalau dimintai nasihat atau petunjuknya.
Di usianya yang sudah “uzur” sekarang ini (didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945) PBB semakin tampak menjadi “tunggangan politik” kekuatan-kekuatan besar dunia, yang memang dominan (secara “unjustice”) dan “menguasai” lembaga dunia itu. Lembaga itu semakin terlihat tak bisa lagi mengontrol (apalagi menindak atau memberikan sanksi) perilaku negara-negara anggotanya (terutama “Big Powers”) yang destruktif dan malah semakin “ugal-ugalan”.
Kritik-kritik
Secara umum, kritik-kritik masyarakat dunia kepada PBB mencakup
- Kebijakan (objektivitas & “keberimbangan”-nya) serta efektivitasnya.
- Orientasi (ideologis)-nya serta “bias” dan inkonsistensinya .
- Kesetaraan perwakilan (equality of representatives)-nya.
- Efektivitas, efisiensi dan keadilan manajemennya.
Kemampuan untuk menegakkan keputusannya. Terutama keputusan Majelis Umum (General Assembly) sebagai forum tertinggi, yang sering terasa “tumpul” karena PBB tidak memiliki mekanisme penegakan hukum. PBB yang “kolot” dengan hak veto Dewan Keamanan (DK) PBB-nya sejak puluhan tahun lalu dikecam dunia (antara lain oleh Presiden pertama Indonesia Bung Karno, yang menunjukkan sudah lamanya masalah tersebut menjadi ganjalan bagi peran signifikan lembaga dunia itu). PBB di bawah “kendali” (dominasi) negara-negara pemegang hak veto cenderung menjadi lembaga dunia yang tidak aspiratif, lamban dan kurang tanggap.
Selain kelemahan-kelemahan yang terdeskripsikan di atas, tercatat berbagai kekurangan yang bersifat spesifik, antara lain:
- Tidak representatifnya DK-PBB. Dominasi 5 anggota tetap (AS, Rusia, Cina, Inggris, Perancis) yang memegang hak veto, membuat berbagai keputusan penting sering terhambat akibat persaingan geopolitik.
- Ketidakmampuan untuk mencegah konflik global. Konflik “abadi” Palestina-Israel, Konflik Rusia-Ukraina, Konflik di Suriah, Yaman, dan berbagai tempat lain membuktikan ketidakmampuan PBB untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.
- Upaya penyelesaian, penerapan hukum internasional ataupun “penindakan” (pengenaan sanksi) acapkali terhalang oleh perbedaan kepentingan atau orientasi negara-negara anggota yang kuat, utamanya dominasi anggota tetap DK-PBB.
- Efektivitas misi dan pasukan perdamaian. Keberhasilan misi perdamaian dan pasukan penjaga perdamaian yang dikirimkan ke berbagai wilayah konflik kerap dipertanyakan. Skeptisme masyarakat internasional itu terkait sumber daya, mandat, dan inefisiensi operasional.
Lemahnya UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) sebagai organ PBB yang menangani krisis kemanusiaan yang dialami para pengungsi di daerah konflik ataupun bencana alam. Besarnya lingkup persoalan serta kurangnya dukungan finansial umumnya membuat lembaga ini kurang mampu berfungsi secara efektif.
Bandelnya negara-negara industri besar (yang sekaligus juga merupakan “pendonor” terbesar bagi PBB) untuk ikut bertanggung jawab dalam masalah “Climate and Environmental Changes.” Berbagai resolusi, seperti halnya Paris Agreement dan “The Kyoto Protocol” nyatanya tidak terlalu berpengaruh signifikan. “Jeratan kapitalisme” rupanya sudah membebani peran negara-negara industri itu terhadap hal-hal kehidupan generasi di masa depan.
Kelemahan Besar PBB berikutnya adalah, dalam penegakan hak asasi manusia (HAM). Berpuluh tahun tidak tercapainya solusi atas penjajahan Israel terhadap Palestina adalah bukti impotennya lembaga Dunia ini dalam menegakkan HAM.
Restrukturisasi DK-PBB
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu sumber masalah dari (berbagai
fakta) “kelemahan PBB” adalah “ketimpangan” dalam badan DK-PBB. Karena kurang/tidak representatifnya dewan ini, dibutuhkan perluasan keanggotaan agar keputusan-keputusan yang diambil lebih adil dan berimbang.
Selanjutnya, karena konstelasi politik dan kekuatan global telah jauh berubah dibandingkan situasi ketika DK-PBB dibentuk, dibutuhkan lembaga yang lebih “tanggap” dan “trenginas”. Lebih aspiratif, dalam pengertian lebih mampu mewadahi serta mengakomodir kepentingan-kepentingan baru yang muncul.
Hak veto yang kontroversial yang seringkali digunakan sebagai “tameng” atau “legitimasi”
kepentingan para anggota tetap DK-PBB guna menghalangi atau membatalkan resolusi
penting, bahkan dalam situasi kemanusiaan yang mendesak sekalipun, seperti dalam kasus
krisis kemanusiaan di Palestina sekarang ini, Secara demikian, hal itu semakin menggerogoti
legitimasi DK di mata masyarakat dunia.
Restrukturisasi DK-PBB tampaknya memang sudah mendesak untuk dilakukan. Hal itu
merupakan langkah penting untuk memperkuat legitimasi, responsivitas, dan keadilan dalam
pengaturan kehidupan dan interaksi global.