Reaktualisasi Sumpah Pemuda

Oleh: Sigid Harimurti – Peneliti Bandung Geopolitics Studies

Masihkah kaum muda masa kini (utamanya kalangan Milenial dan Gen-Z) mengetahui (lebih baik lagi “memahami”) apa makna “Sumpah Pemuda” yang kita peringati setiap tanggal 28 Oktober? Adakah “peringatan resmi” di tanggal itu “menyentuh” atau memberikan “getaran” tertentu di sanubarinya? Atau sekedar “lewat” begitu saja seperti hari-hari lainnya, sambil menyisakan pertanyaan: “Peringatan apa sih?”

Secara demikian, makna Sumpah Pemuda tampaknya memang perlu reaktualisasi. Mengingat hal itu merupakan “orientasi” yang mendasari tumbuh berkembangnya “spirit” nasionalisme yang seharusnya terejawantahkan dalam keseharian hidup kaum muda kita.

Dalam setiap konteks kesejarahan nasional, peran kaum muda kerap kali bukan hanya sebagai kontributor bagi proses perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, namun lebih jauh lagi bahkan merupakan pelopor dan penentu keberhasilannya. Artinya, di satu sisi kehidupannya, kaum muda senantiasa berkewajiban untuk turut memikirkan, terlibat, serta bertanggung jawab atas arah serta orientasi pembangunan bangsanya.

Pada skala dan gradasi manapun, keterlibatan dan potensi kaum muda memiliki nilai kontributif yang sama sekali tak dapat dan tak layak diabaikan. Nilai kontributif itu, sekarang ini menjadi semakin strategis, mengingat proses regenerasi bangsa yang sedang berlangsung beserta tantangan global yang dihadapi, kini dan di masa depan.

Penggagas

Dalam lingkupnya secara spesifik, kaum muda adalah bagian dari komunitas strategis dan potensial yang tidak saja memiliki dan mencetuskan ide-ide (bagi persoalan dan perkembangan masyarakatnya), tetapi sekaligus juga berkewajiban menegakkan idealisme dari kubu-kubu etika dan obyektivitas (atau “kemurnian jiwa dari kontaminasi berbagai muatan/kepentingan subyektif yang berlebihan”) mereka.

Secara moral mereka berkewajiban untuk senantiasa menjunjung tinggi matra “kesadaran” ketika menghadapi problematika yang terkadang menguji komitmen nasionalismenya, menggoyah konsistensi dan konsekuensi etika keyakinan (atau bahkan religi-nya), menggoda nalar kebijakannya. Di antara tuntutan atau panggilan kepedulian sosialnya, mereka mesti tetap memancangkan tiang-tiang rasionalitas, kelayakan, dan terutama keadilan.

Sebagai komunitas strategis, kaum muda memiliki potensi peran dan posisi (dengan kapabilitas individual/sosialnya) untuk dapat menduduki setiap jenjang dan lingkup dalam sistem atau struktur kemasyarakatan maupun kenegaraan. Di sana (kelak) mereka memiliki kesempatan untuk mengambil peranan yang influential dan ikut berperan serta lebih besar dan nyata bagi perkembangan hidup bangsa dan negaranya.

Dengan watak peduli (concernity) berikut visi idealismenya maka pemuda mampu membawakan potensi yang produktif, kreatif, dan inovatif dalam kerangka dan sistem pembangunan bangsa. Secara demikian kaum muda jelas merupakan penggerak masa depan, di mana seyogianya secara lebih awal mereka dapat menemukan “bidang” buat memproyeksikan ekspresi dirinya, lalu menyesuaikan “inovasi & kontribusinya dengan peranan dan posisi yang terdeskripsikan pada proyeksi diri.

Ini berarti kaum muda mesti mampu mengemban integritas kontributif dan sosial dengan daya adaptasi yang memadai terhadap perkembangan iptek dan dinamika masyarakat. Utamanya dengan bobot efektivitas dan efisiensi yang terus meningkat. Dengan kapabilitas individual dan sosial yang disertai kemandirian (tegas dalam bersikap dan tak serba tergantung pada apa atau siapa pun), disiplin serta tekad juang yang tinggi, dan dengan dilandasi wawasan kepeloporan/kepemimpinan, niscaya para pemuda dapat menampilkan kinerja terbaik. Terutama dalam kemitraan dengan pihak lain yang akan mempengaruhi dan menentukan pengembangan kualitas dirinya, masyarakat maupun bangsanya.

Reaktualisasi: Spektrum Partisipasi

Pada gilirannya, mereka ini bakal mampu berperan serta dalam sistem atau struktur masyarakat dengan lebih kontekstual, terbuka dan percaya diri. Di sinilah barangkali reaktualisasi makna Sumpah Pemuda menemukan dasar pijakannya.

Kemampuan untuk senantiasa mengembangkan tradisi kepedulian serta visi idealisme dan rasionalitas dalam kehidupan pergaulan (kaum muda)-nya, dan kemudian merefleksikannya pada dinamika interaksi sosial di masyarakat luas, akan menentukan kualitas serta kesiapan (kapabilitas) kaum muda dalam menghadapi realita yang tergelar, dalam mengantisipasi setiap kecenderungan maupun problematika situasi/kondisi yang nyata.

Derajat kualitas serta kesiapan/kapabilitas kaum muda tersebut dapat diukur atau tercermin dalam rentangan fluktuatif yang terjabarkan mulai dari upaya-upaya dan/atau berbagai bentuk “penyesuaian” (integrating) dari kemampuan partisipatif untuk memainkan peranan yang influential. Baik dalam konteks/lingkungan pergaulan (kaum muda) secara eksklusif maupun ke dalam kehidupan masyarakat luas yang lebih kompleks dan heterogen.

Pemberian kepercayaan yang sepantasnya dari masyarakat/bangsanya, pada dasarnya merupakan pendorong berkembangnya kemandirian kaum muda potensial. Kemandirian yang memungkinkan pemuda menjadi terlatih serta siap buat berpikir, bersikap, dan bertindak mandiri serentak dengan kesadaran bertanggung jawab atas pikiran, sikap serta tindakannya itu.

Pemberian kepercayaan juga mendorong proses pengembangan wawasan dan pematangan pribadi, yang vital dalam rangka menghadapi kompleksitas perkembangan tuntutan manusia. Karena kematangan pribadi (maturity) pada dasarnya berkaitan atau dilingkupi batas ruang dan waktu. Maksudnya, kematangan individual itu bakal berkembang sejalan dengan usia dan kesempatan. Makin banyak kesempatan mengekspresikan aspirasi dan berpartisipasi dalam berbagai wadah/kegiatan dalam proses pertambahan usia, makin cepat pula memperoleh kematangan/kedewasaan dalam (penentuan) orientasi masa depan.

Di sisi lain, sikap rasional yang hendaknya tetap dijaga dan dikembangkan, adalah proses mental yang membentuk kepribadian yang senantiasa bersikap mencari dan menghormati kebenaran. Sikap terlalu mudah/cepat menerima ataupun, sebaliknya, terlalu cepat menolak terhadap suatu informasi atau gagasan tanpa melihat latar belakang dan dasar argumentasinya serta memandang dengan perspektif yang terbatas dan subyektif layaknya disingkirkan jauh-jauh.

Konfusi

Apa yang telah diuraikan di atas jelas lebih merupakan obsesi yang dibebankan pada pundak pemuda sebagai sumber daya (potensial) penggerak bangsa. Yang menjadi persoalan adalah, mampukah pemuda kita sekarang ini menyandang tugas seberat itu, seraya menghadapi tuntutan jaman yang terus meningkat cepat dengan kesempatan yang kian mengetat? Tak pelak lagi, berbagai kendala telah menghadang.

Di antara sekian persoalan yang tergelar, salah satu yang menonjol adalah adanya proses pencarian dan penentuan identitas diri yang cenderung distorsif pada sebagian pemuda. (Karena keterbatasan pandangan serta pengalaman) Mereka ini biasanya mengekspresikan, bahkan mengidentifikasikan, eksistensinya secara berlebihan pada suatu partai, kelompok atau organisasi masa pemuda tertentu. Secara sempit mereka malah juga mengartikan partisipasi sosialnya sebagai “aktif pada ormas pemuda” (semata).

Pada gilirannya, kecenderungan demikian boleh jadi mengarah pada semacam “eksklusivisme”. Dan pada situasi yang kurang terkendali, “eksklusivisme” ini bahkan mungkin menggejala sebagai “sektarianisme”.

Keberadaan partai atau (utamanya) ormas pemuda yang (dimaksudkan) menjadi wadah aspirasi dan aktivitas mereka, seringkali malah lalu “dikawulani” oleh mereka. Sementara yang lain secara sempit mengaitkan dengan fasilitas dan status sosial mereka, bahkan “privilege”.

Jika sudah demikian, tak pelak lagi persaingan akan mengemuka. Dan logikanya, persaingan itu tidak saja dalam konotasinya yang positif. “Perebutan kesempatan” pun akan semakin kentara. Atas nama berbagai kepentingan (baik yang berkaitan dengan diri/ kaumnya ataupun yang merupakan “titipan” pihak lain), mereka “berlomba” memperoleh legitimasi seluas-luasnya. Utamanya dari pemegang otoritas kekuasaan.

Di sisi lain, hal itu bisa mengakibatkan dampak negatif yang bila tidak diwaspadai akan semakin merebak. Yakni berkembangnya konfusi (kebingungan/kebimbangan) di kalangan (sebagian) kaum muda. Adalah suatu kenyataan, jika banyak di antara pemuda kita karena latar pendidikannya (yang telah dibakukan sedemikian rupa) dan “arahan budaya lingkungannya” selama ini yang merasa tak mampu atau ragu untuk berpartisipasi/terlibat “langsung” secara mandiri dalam problematika masyarakatnya.

Dan kemudian, konfusi demikianlah yang seringkali “digunakan” atau direkayasa sedemikian rupa (dalam konteks/warna politik atau sosial) oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh demi memenuhi atau menunjang berbagai kepentingannya.

 

Mendesak: Revitalisasi PBB

Oleh: Sigid Harimurti – Peneliti Bandung Geopolitics Studies

Revitalisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah suatu “conditio sine qua non”, suatu hal yang sudah sangat mendesak, di tengah dinamika & problematika global saat ini. PBB layaknya “gergasi” masa silam yang semakin loyo dan susah melangkah maju akibat beban yang terus bertambah banyak dan berat akibat saling-silang masalah yang semakin kompleks dalam interaksi masyarakat dunia.
PBB kini adalah laksana “Sang Kumbakarna” dalam mitos Ramayana. Raksasa bertubuh sangat besar yang bijaksana serta penganjur perdamaian. Tapi saking besar dan berat tubuhnya, hingga ia kepayahan sendiri untuk bergerak dan kemudian hari-harinya dihabiskan dengan tidur. Ia hanya bangun dan punya makna kalau dimintai nasihat atau petunjuknya.
Di usianya yang sudah “uzur” sekarang ini (didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945) PBB semakin tampak menjadi “tunggangan politik” kekuatan-kekuatan besar dunia, yang memang dominan (secara “unjustice”) dan “menguasai” lembaga dunia itu. Lembaga itu semakin terlihat tak bisa lagi mengontrol (apalagi menindak atau memberikan sanksi) perilaku negara-negara anggotanya (terutama “Big Powers”) yang destruktif dan malah semakin “ugal-ugalan”.

 

Kritik-kritik

Secara umum, kritik-kritik masyarakat dunia kepada PBB mencakup

  • Kebijakan (objektivitas & “keberimbangan”-nya) serta efektivitasnya.
  • Orientasi (ideologis)-nya serta “bias” dan inkonsistensinya .
  • Kesetaraan perwakilan (equality of representatives)-nya.
  • Efektivitas, efisiensi dan keadilan manajemennya.


Kemampuan untuk menegakkan keputusannya. Terutama keputusan Majelis Umum (General Assembly) sebagai forum tertinggi, yang sering terasa “tumpul” karena PBB tidak memiliki mekanisme penegakan hukum. PBB yang “kolot” dengan hak veto Dewan Keamanan (DK) PBB-nya sejak puluhan tahun lalu dikecam dunia (antara lain oleh Presiden pertama Indonesia Bung Karno, yang menunjukkan sudah lamanya masalah tersebut menjadi ganjalan bagi peran signifikan lembaga dunia itu). PBB di bawah “kendali” (dominasi) negara-negara pemegang hak veto cenderung menjadi lembaga dunia yang tidak aspiratif, lamban dan kurang tanggap.


Selain kelemahan-kelemahan yang terdeskripsikan di atas, tercatat berbagai kekurangan yang bersifat spesifik, antara lain:

  • Tidak representatifnya DK-PBB. Dominasi 5 anggota tetap (AS, Rusia, Cina, Inggris, Perancis) yang memegang hak veto, membuat berbagai keputusan penting sering terhambat akibat persaingan geopolitik.
  • Ketidakmampuan untuk mencegah konflik global. Konflik “abadi” Palestina-Israel, Konflik Rusia-Ukraina, Konflik di Suriah, Yaman, dan berbagai tempat lain membuktikan ketidakmampuan PBB untuk mencegah dan menyelesaikan konflik.
  • Upaya penyelesaian, penerapan hukum internasional ataupun “penindakan” (pengenaan sanksi) acapkali terhalang oleh perbedaan kepentingan atau orientasi negara-negara anggota yang kuat, utamanya dominasi anggota tetap DK-PBB.
  • Efektivitas misi dan pasukan perdamaian. Keberhasilan misi perdamaian dan pasukan penjaga perdamaian yang dikirimkan ke berbagai wilayah konflik kerap dipertanyakan. Skeptisme masyarakat internasional itu terkait sumber daya, mandat, dan inefisiensi operasional.


Lemahnya UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) sebagai organ PBB yang menangani krisis kemanusiaan yang dialami para pengungsi di daerah konflik ataupun bencana alam. Besarnya lingkup persoalan serta kurangnya dukungan finansial umumnya membuat lembaga ini kurang mampu berfungsi secara efektif.
Bandelnya negara-negara industri besar (yang sekaligus juga merupakan “pendonor” terbesar bagi PBB) untuk ikut bertanggung jawab dalam masalah “Climate and Environmental Changes.” Berbagai resolusi, seperti halnya Paris Agreement dan “The Kyoto Protocol” nyatanya tidak terlalu berpengaruh signifikan. “Jeratan kapitalisme” rupanya sudah membebani peran negara-negara industri itu terhadap hal-hal kehidupan generasi di masa depan.
Kelemahan Besar PBB berikutnya adalah, dalam penegakan hak asasi manusia (HAM). Berpuluh tahun tidak tercapainya solusi atas penjajahan Israel terhadap Palestina adalah bukti impotennya lembaga Dunia ini dalam menegakkan HAM.

 

Restrukturisasi DK-PBB

Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu sumber masalah dari (berbagai
fakta) “kelemahan PBB” adalah “ketimpangan” dalam badan DK-PBB. Karena kurang/tidak representatifnya dewan ini, dibutuhkan perluasan keanggotaan agar keputusan-keputusan yang diambil lebih adil dan berimbang.
Selanjutnya, karena konstelasi politik dan kekuatan global telah jauh berubah dibandingkan situasi ketika DK-PBB dibentuk, dibutuhkan lembaga yang lebih “tanggap” dan “trenginas”. Lebih aspiratif, dalam pengertian lebih mampu mewadahi serta mengakomodir kepentingan-kepentingan baru yang muncul.
Hak veto yang kontroversial yang seringkali digunakan sebagai “tameng” atau “legitimasi”
kepentingan para anggota tetap DK-PBB guna menghalangi atau membatalkan resolusi
penting, bahkan dalam situasi kemanusiaan yang mendesak sekalipun, seperti dalam kasus
krisis kemanusiaan di Palestina sekarang ini, Secara demikian, hal itu semakin menggerogoti
legitimasi DK di mata masyarakat dunia.
Restrukturisasi DK-PBB tampaknya memang sudah mendesak untuk dilakukan. Hal itu
merupakan langkah penting untuk memperkuat legitimasi, responsivitas, dan keadilan dalam
pengaturan kehidupan dan interaksi global.